Film Hanya Namamu dalam Doaku mengajak penonton masuk ke dalam drama rumah tangga penuh konflik, cinta, dan pengorbanan. Dibintangi Naysilla Mirdad, film ini mencoba menghadirkan kisah yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, sambil menyinggung nilai-nilai yang masih relevan dalam masyarakat.
Dalam sejarah panjang sinema Indonesia, drama keluarga kerap hadir dengan pola yang serupa: kesalahpahaman, hadirnya orang ketiga, lalu rekonsiliasi penuh air mata. Formula ini, meski efektif, seringkali kehilangan daya kejut. Hanya Namamu dalam Doaku pun tidak sepenuhnya lepas dari pakem tersebut, ia masih meminjam perselingkuhan sebagai pemantik konflik. Namun, di balik “drama lama” itu, film ini justru menemukan “nafas baru” lewat keberanian menyentuh wilayah yang jarang dijelajahi layar lebar: fiqih pernikahan, masa iddah, dan kesakralan janji di hadapan Tuhan.
Deretan Nama Aktor Besar
Dalam lanskap perfilman Indonesia yang semakin produktif, Hanya Namamu dalam Doaku hadir membawa genre drama keluarga yang sarat emosi. Film garapan Reka Wijaya ini menempatkan nama-nama besar seperti Vino G. Bastian, Nirina Zubir, dan Naysilla Mirdad di garis depan, dengan dukungan produser kreatif muda seperti Prilly Latuconsina dan Umay Shahab. Kehadirannya di bioskop nasional bukan hanya menambah daftar panjang film drama, tetapi juga menegaskan keberanian untuk mengangkat isu keluarga yang dekat dengan keseharian penonton Indonesia.
Akting dan Performa yang Menawan
Secara garis besar, film ini berkisah tentang Arga (Vino G. Bastian), seorang suami dan ayah yang menyimpan rahasia besar: ia divonis mengidap ALS, penyakit saraf progresif yang perlahan melumpuhkan tubuh. Keputusannya untuk menutup rapat kondisi itu justru memicu kesalahpahaman dalam rumah tangganya. Hanggini (Nirina Zubir), sang istri, merasa ditinggalkan dan menduga adanya perselingkuhan, apalagi setelah kehadiran Marissa (Naysilla Mirdad), mantan kekasih Arga, kembali ke kehidupan mereka. Konflik keluarga yang seharusnya bisa dibicarakan dengan jujur pun bergeser menjadi prasangka dan kecurigaan.
Formula Lama Memikat Perhatian
Dari segi alur, film ini masih mengandalkan formula lama: perselingkuhan sebagai pemantik drama rumah tangga. Pendekatan ini memang efektif memunculkan konflik emosional, tetapi dalam konteks perfilman hari ini, terasa kurang memberi pembeda. Karakter Marissa, misalnya, tidak diberi ruang berkembang, sehingga kehadirannya lebih menyerupai “alat” dramatisasi ketimbang tokoh dengan kedalaman psikologis. Hal ini membuat konflik utama terkesan bergantung pada pola lama sinema Indonesia: menghadirkan pihak ketiga sebagai sumber masalah, lalu menyelesaikannya dengan rekonsiliasi emosional.
Perspektif Baru, Pelajaran Baru
Namun, kekuatan Hanya Namamu dalam Doaku justru muncul dari lapisan tematik yang jarang disentuh: penggambaran perceraian dari perspektif Islam. Film ini memperkenalkan penonton pada konsep masa iddah dan hukum-hukum fiqih seputar pernikahan. Detail ini menambahkan dimensi religius sekaligus edukatif, khususnya bagi penonton muda yang mungkin tidak terbiasa melihat bagaimana hukum agama mengikat realitas rumah tangga. Dengan demikian, film ini tidak hanya berbicara tentang perpisahan atau kecurigaan, tetapi juga tentang ruang sakral yang dibangun antara dua insan dalam ikatan pernikahan.
Keberanian mengangkat perspektif ini perlu dicatat sebagai pencapaian. Dalam sinema Indonesia, tema agama sering kali hadir hanya sebagai simbol atau latar, bukan sebagai fondasi naratif yang memengaruhi alur. Hanya Namamu dalam Doaku mencoba melampaui itu, meski eksekusinya belum sepenuhnya matang. Ada potensi besar untuk menjadikan hukum Islam sebagai bingkai reflektif yang lebih kuat, alih-alih sekadar sisipan informasi.
Bertumpu Pada Akting
Secara sinematik, kekuatan film ini bertumpu pada akting. Vino G. Bastian berhasil menyalurkan pergulatan batin Arga dengan subtil, menahan gejolak emosinya agar tetap selaras dengan karakter pria yang memilih menyembunyikan penderitaan. Nirina Zubir tampil penuh intensitas, menghadirkan dilema seorang istri yang dihadapkan pada kesetiaan dan kecurigaan. Sementara itu, Anantya Kirana sebagai Nala memberikan energi segar, memperlihatkan perspektif seorang anak yang ikut terseret dalam badai rumah tangga. Namun, Naysilla Mirdad sayangnya tidak diberi ruang dramatik yang cukup untuk menunjukkan kapasitasnya.
Meski pada akhirnya menjadi kunci dari rangkaian kesalahpahaman dalam cerita, karakter yang dimainkan Naysilla Mirdad tidak berkembang sekuat perannya dalam alur. Ia hadir sebagai perpanjangan konflik rumah tangga, namun dieksekusi terlalu datar dan apa adanya. Padahal, dengan kedudukan sentral seperti itu, tokohnya bisa saja menjadi jembatan untuk menyingkap lapisan emosional yang lebih kompleks antara godaan, kesalahpahaman, dan pilihan moral. Sayangnya, potensi itu tidak dimaksimalkan, membuatnya terasa hanya sebagai simbol perselingkuhan gaya lama tanpa ruang dramatik yang lebih segar.
Berpayung Tuhan yang Buat Terhanyut
Dari segi audio-visual, film ini mengandalkan tata kamera yang intim, sering menggunakan close-up untuk menangkap ekspresi batin para tokoh. Pilihan ini berhasil membawa penonton masuk ke ruang domestik yang penuh keretakan. Ditambah dengan kehadiran soundtrack Berpayung Tuhan oleh Nadin Amizah, atmosfer emosional film semakin kuat. Musik tidak sekadar mengiringi, tetapi juga menegaskan nuansa spiritual yang menjadi benang merah cerita.
Jika harus dirangkum, Hanya Namamu dalam Doaku memang bukan film dengan terobosan besar dari sisi struktur cerita. Ia masih bermain aman dalam formula klasik drama keluarga. Namun, film ini memberi kontribusi penting dengan berani menautkan konflik rumah tangga ke dalam konteks religius dan hukum Islam, sekaligus mengingatkan penonton tentang kesucian janji pernikahan. Bahwa cinta tidak cukup hanya diukur dari seberapa lama bisa bertahan dalam kebahagiaan, melainkan juga tentang keberanian untuk jujur, berbagi penderitaan, dan menjaga ikatan sakral yang telah diikrarkan.
Film Hanya Namamu dalam Doaku membuka ruang baru: bagaimana sinema Indonesia dapat menjadi medium refleksi atas nilai-nilai keimanan, hukum, dan keluarga, tanpa kehilangan daya tariknya sebagai tontonan populer.
