
Cover
Film musikal Siapa Dia, karaya terbaru Garin Nugroho, siap meramaikan bioskop Indonesia pada 28 Agustus 2025. Hadir bukan sekadar tontonan, film ini menjadi sebuah perayaan tentang sejarah, musik, dan kehidupan. Dengan menggabungkan narasi lintas generasi, Siapa Dia menyuguhkan refleksi bagaimana cerita mampu menjadi cermin perjalanan manusia, sekaligus menegaskan posisi film sebagai “gambar hidup” yang tak pernah kehilangan relevansinya.
Alur yang Lambat Tapi Bermakna

Di awal film, alur terasa membingungkan. Nicholas Saputra sebagai Layar digambarkan sebagai sutradara muda yang kehabisan ide, lalu pulang ke kampung buyutnya dan menemukan koper warisan keluarga. Dari situlah kisah lintas generasi bergulir—membawa penonton menelusuri sejarah buyut, kakek, ayah, hingga dirinya. Meski butuh waktu untuk memahami arah cerita, perlahan penonton diajak membuka lembaran demi lembaran sejarah keluarga bersama Layar.
Teatrikal tapi Tetap Memikat

Banyak adegan terasa formal dan teatrikal, mungkin karena tuntutan format musikal. Sayangnya, ini membuat sebagian akting tampak kaku.
Namun, Nicholas Saputra justru mencuri perhatian lewat empat karakter lintas zaman—dari era kolonial, kemerdekaan, orde baru, reformasi hingga era modern 2025. Ia berhasil memberi nuansa berbeda di tiap masanya, menampilkan karisma sekaligus rentang peran yang jarang terlihat darinya.
Amanda Rawles sebagai Rintik tampil natural, baik dalam akting, tarian, maupun nyanyian. Sementara Widi Mulia menghadirkan kombinasi vokal dan akting yang solid.
Musikalitas Megah

Sebagai film musikal, musik dan lagu menjadi pusat perhatian. Aransemen orkestra disajikan dengan indah, menghadirkan nuansa megah sekaligus emosional yang mendukung jalannya cerita. Hanya saja, variasi lagu berjalan dengan ritme yang cenderung stabil sehingga memberi kesan aman tanpa banyak kejutan.
Film Sebagai Cermin Kehidupan

Yang paling menonjol dari Siapa Dia adalah benang merah ceritanya. Film ini menegaskan bahwa film adalah gambar hidup: mampu menginspirasi, memberi pelajaran, sekaligus menjadi cermin bagi penontonnya. Lewat kisah lintas generasi, penonton diajak merenungkan bagaimana cerita—baik yang disaksikan maupun diwariskan akan selalu hidup dan relevan.
Visual dan Struktur Narasi

Dari kacamata sinematografi, Siapa Dia kaya akan visual artistik. Kostum, dan koreografi dibuat teatrikal, menegaskan identitas film ini sebagai musikal. Beberapa frame bahkan terasa seperti lukisan bergerak, indah sekaligus puitis.
Sebagai hadiah kemerdekaan ke-80 Indonesia, Siapa Dia bukan hanya film, tapi sebuah perayaan identitas budaya pop kita yang penuh warna. Lebih dari itu, film ini juga patut diapresiasi karena berhasil menghadirkan pengalaman emosional yang unik dalam menjembatani sejarah, musik, dan kehidupan personal dalam satu layar besar.
Kehadirannya memberi variasi baru di perfilman tanah air dan semoga menjadi pemicu bagi para filmmaker lain untuk berani mengeksplorasi ide-ide segar, tanpa sekadar terbawa arus genre yang itu-itu saja.